Sebagai
cerita rakyat Sunda Si Kabayan sejajar dengan Abu Nawas dan Koja
Nasrudin. Orang sering menyejajarkan Si Kabayan dengan tokoh
pintar-bodoh di suku-suku lain. Akan tetapi tokoh-tokoh cerita rakyat
suku-suku lain itu tidak sekaya Si Kabayan. Cerita-cerita mereka kadang
hanya diwakili satu cerita. Cerita Si Pandir di Melayu, misalnya,
meliputi beberapa cerita saja. Begitu pula Si Luncai dan Pak Senik,
hanya ada satu dua ceritanya. Sedangkan Si Kabayan, kalau dikumpulkan
bisa mencapai seratus cerita lebih. Coster-Wijaman bisa mengumpulkan 80
cerita di daerah Banten saja.
JAWA
Barat kaya akan tradisi kerakyatan, termasuk cerita rakyat. Meskipun
tradisi istana pernah hidup di Jawa Barat, karena mengalami zaman dua
kerajaan besar, yakni Galuh di daerah Ciamis dan Pajajaran di daerah
Bogor, sedikit sekali ditemukan artefak-artefak budaya istana.
Kerajaan-kerajaan Hinduistik di Jawa Barat lenyap bersama pendukungnya,
yakni masyarakat istana. Kerajaan-kerajaan Islam yang kemudian muncul di
Jawa Barat tidak melanjutkan tradisi istana-istana sebelumnya.
Kerajaan-kerajaan Islam itu adalah Banten dan Cirebon.
Banten
dan Cirebon cenderung kejawa-jawaan akibat hubungan mereka dengan
perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Akan
tetapi, apabila ditilik lebih dalam, masih akan tampak ciri-ciri
kesundaan di kedua kerajaan Islam tersebut. Bagaimanapun
kerajaan-kerajaan Islam tersebut masih berada di masyarakat Sunda
sehingga tradisi lokal mendasari kebudayaan di kedua kerajaan tadi.
Tradisi
kerakyatan masih terus hidup di bawah arus budaya-budaya istana yang
silih berganti. Ini disebabkan sistem kerajaan-kerajaan di Jawa Barat
berbeda dengan kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Kerajaan-kerajaan Jawa berdasarkan masyarakat sawah, sedangkan
kerajaan-kerajaan Sunda berdasarkan masyarakat huma. Kebudayaan istana
di Jawa Barat hanya berkembang di lingkungan terbatas masyarakat nagara.
Di Jawa Barat tidak dikenal adanya negaragung dan mancanegara seperti
di Jawa.
Masyarakat
istana adalah masyarakat Sunda di negara itu, yakni istana dan wilayah
yang benar-benar dikuasainya secara langsung. Hal ini bisa disimak dalam
Babad Pakuan abad ke-18 yang ditulis dalam bentuk wawacan berbahasa
Jawa. Saya telah menulis perkara ini dalam Hermeneutika Sunda. Di luar
wilayah, nagara merupakan kesatuan-kesatuan kampung Sunda yang
berpindah-pindah akibat hidup dari ladang padi (huma).
Sudah
barang tentu pengaruh istana sampai juga di wilayah-wilayah kampung
Sunda. Seperti kita saksikan bahwa teks-teks tertulis Sunda lama masih
disimpan oleh penduduk perkampungan di Jawa Barat.
Selain
itu carita-carita pantun yang berisi mitos-mitos istana Sunda masih
tersebar di kalangan rakyat perdesaan. Hanya artefak-artefak istana
sudah sulit ditemukan di kalangan rakyat, misalnya batik istana Sunda,
seni ukir istana Sunda, buku-buku Hindu-Buddha, tata adat istana Sunda,
dan seni gamelan, karena masyarakat istana-istana Sunda itu memang tidak
berlanjut sebagai lembaga sosial.
Pemandangan
semacam itu masih terlihat pula ketika di Jawa Barat berdiri
kerajaan-kerajaan Islam di Banten dan Cirebon. Kedua kerajaan itu juga
terdiri dari wilayah negara atau negaragung saja. Wilayah mancanegara
tidak dikenal. Apalagi bahasa di wilayah negara dan negaragung berbeda
dengan bahasa masyarakat perdesaan Sunda.
Dengan
demikian, semakin kuatlah kesan kita bahwa kebudayaan Sunda yang
berkontinuitas itu hanya ada di kalangan masyarakat kampung. Berbeda
dengan masyarakat Sunda di zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, yang
hubungan antara istana dan rakyat amat tipis, maka di zaman penyebaran
agama Islam di Jawa Barat, agen-agen perubahan ke arah Islam benar-benar
keluar masuk kampung-kampung Sunda. Hal ini tercermin dalam mitos-mitos
rakyat terhadap penyebar Islam seperti Kian Santang.
Tidak
mengherankan apabila di kalangan masyarakat pedesaan Sunda, kenangan
terhadap zaman kebudayaan Hindunya amat tipis, bahkan tidak mengenal
zaman seperti itu. Mereka percaya bahwa agama Islam itu sudah sejak
awalnya ada di Sunda. Sunda itu Islam.
Inilah
sebabnya cerita-cerita rakyat Sunda amat kuat kesan keislamannya.
Meskipun dalam cerita-cerita rakyat dikenal nama-nama dewa dan batara
yang kehindu-hinduan, namun tidak dalam pemahaman bahwa itu berdasarkan
agama Hindu-Buddha, tetapi Sunda semata-mata, Kebudayaan
Hindu-Buddha-Sunda itu hanya dikenal di kalangan intelektual moderennya.
Di kalangan rakyat, zaman Hindu itu adalah Sunda.
Lenyapnya
ingatan kolektif terhadap kebudayaan Hindu-Sunda, lebih mirip dengan
yang terjadi di Sumatra. Di zaman kejawaan Hindu-Buddha di Sumatra
dikenal kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya, Jambi, Melayu, dan
Tulang Bawang. Akan tetapi, begitu kerajaan-kerajaan maritim itu lenyap,
maka lenyap pulalah masyarakat pendukungnya dalam arti lembaga.
Manusia-manusia Buddha-Sumatra tentu saja masih terus ada, tetapi
kemudian bercampur lebur dalam masyarakat luar istana. Ini disebabkan
kerajaan-kerajaan maritim yang besar itu tidak memerlukan ladang atau
sawah untuk mendukung keberadaannya. Mereka hanya butuh pelabuhan dan
tentara sewaan (pegawai tentara) yang mampu menjaga kedaulatan negara
kota maritimnya.
Sedangkan
hubungan mereka dengan rakyat kampung hanya terbatas pada jual-beli
atau pajak berupa hasil kebun rempah-rempah dan produk hutan yang lain.
Seperti
di Sunda, Islam juga tertanam kuat di kalangan rakyat Sumatra. Kenangan
mereka terhadap kejayaan Jambi dan Sriwijaya tidak ada, kecuali di
lingkungan golongan terpelajarnya yang mengenal penggalian sejarah
sarjana-sarjana kolonial. Dewa-dewa juga dikenal di kalangan rakyat
Sumatra, namun tetap harus dibaca sebagai hal yang bersifat Melayu dan
bukan Hindu-Buddha.
Keadaan
yang berbeda terjadi di kalangan rakyat Jawa. Di lingkungan rakyat, dan
lebih lebih istana, amat kuat kenangan kolektif mereka atas budaya
Hindu-Buddha sebelumnya. Mereka menyebutnya sebagai agomo Buddho (agama
Buddha). Hal ini disebabkan sistem kerajaan sawah mereka yang konsentris
sejak awal. Hal ini pun dipermudah karena masyarakat sawah itu menetap.
Kontinuitas budaya rakyat dan istana terus berlangsung, bahkan di
kalangan rakyat cenderung berbudaya istana.
Tradisi
budaya istana di Jawa Barat amat tipis di kalangan rakyat. Sebaliknya
tradisi budaya rakyat perladangan amat kuat. Tradisi ini diwariskan
secara lisan. Tradisi budaya lisan selalu auditif. Karena sifatnya
auditif maka budaya ini hanya berkembang di kelompok komunitas terbatas.
Dengan demikian sifat auditif mengembangkan relasi kekeluargaan
(gemeinschaft), harmoni, partisipasi, menekankan kekonkretan dalam
bentuknya yang sederhana. Komunikasi lisan semacam itu cenderung
menyampaikan pesan-pesan komunal melalui bentuk cerita-cerita.
Cerita-cerita
rakyat di Jawa Barat amat kaya, isinya tentang mitos, siluman, legenda,
kehidupan rakyat sehari-hari, dan dongeng binatang. Usaha mengumpulkan
jenis-jenis cerita rakyat tersebut masih sedikit dilakukan, apalagi
peneelaahan serius atas cerita-cerita tersebut. Mitos dan legenda lokal
tentu bersifat Sunda. Akan tetapi, cerita binatang sering berasal dari
luar. Sedangkan cerita kehidupan rakyat sehari-hari banyak bersifat
lokal, namun juga sering diadaptasi dari luar, seperti dalam
cerita-cerita Si Kabayan.
Yang
menarik adalah cerita-cerita binatang yang khas Sunda, yakni Sakadang
Kuya jeung Sakadang Monyet. Cerita binatang ini sering mengambil
cerita-cerita luar, namun digarap dalam alam pikir masyarakat Sunda.
Yang terkenal adalah cerita kedua binatang tersebut, kura-kura dan kera
yang mirip dengan cerita-cerita kancil di Jawa, dalam tema mencuri hasil
kebun pak tani. Dalam usaha mereka mencuri tanaman, kura-kura berhasil
ditangkap pak tani.
Ketika
kura-kura dikurung pak tani, monyet datang dan diberi tahu kura-kura
bahwa dirinya dikurung agar tak lari untuk dikawinkan dengan putri pak
tani yang cantik. Monyet bersedia bertukar tempat untuk menggantikan
kura-kura di dalam kurungan. Pagi hari pak tani menjumpai kura-kura
telah berganti monyet dan bermaksud untuk memotongnya. Mengetahui hal
ini monyet pura-pura mati, dan pak tani membuang "mayat" monyet itu di
sungai. Dengan begitu, monyet dan kura-kura pun bebas kembali.
Dalam
cerita yang sama, monyet itu tidak bebas. Akan tetapi, berhasil
dipotong pak tani dan disate. Dalam cerita Sunda justru kedua binatang
itu selamat semua akibat kecerdikan keduanya. Kura-kura dan monyet dalam
cerita rakyat Sunda merupakan pasangan antagonis. Keduanya selalu
berselisih adu kecerdasan, namun selalu saling bertemu kembali.
Kura-kura di pihak protagonis dan monyet pihak antagonis. Kura-kura
simbol binatang air, monyet binatang gunung dan hutan. Apakah ini simbol
budaya sawah Sunda melawan budaya ladang Sunda?
Cerita
binatang Kuya Jeung Monyet (kura-kura dan monyet) disatukan dalam
bentuk paradoks dalam tokoh Si Kabayan. Tokoh ini kesatuan watak
kura-kura dan monyet, kecerdasan dan kebodohan. Cerdas bagai kuya dan
bodoh bagai monyet. Si Kabayan bisa jadi simbol Sunda-air dan
Sunda-gunung sekaligus serta menjadi jati diri Sunda secara budaya. Si
Kabayan adalah tokoh bodoh-pintar. Terkadang begitu bodohnya dan di lain
saat begitu cerdasnya.
Nanti
kalau kita perhatikan, Kabayan sebagai tokoh bodoh selalu berhubungan
dengan nilai-nilai rohaniah, sedangkan sebagai tokoh pintar selalu
berhubungan dengan manusia lain. Kebodohan Kabayan adalah juga kebodohan
kita secara rohani. Di hadapan nilai-nilai rohaniah-ketuhanan dan
illahiah, Kabayan digambarkan begitu bodohnya sehingga tidak mampu
membedakan antara bayangan dan kenyataan.
Cerita-cerita
Si Kabayan bodoh tidak begitu banyak. Kebodohan Kabayan dalam
cerita-cerita semacam itu sering keterlaluan. Misalnya Kabayan tak bisa
membedakan antara mayat dan manusia hidup, antara bayangan langit dan
permukaan tanah di sawah.
Kebodohan
Kabayan yang demikian itu ternyata simbolik rohani. Kita ini bodoh
spiritual. Dalam hal ini, Si Kabayan bukan hanya jati diri Sunda, tetapi
jati diri manusia itu sendiri.
Kesundaan
Si Kabayan ada pada latar lokalitasnya. Bahwa dalam masyarakat Sunda
cara hidup sehari-harinya semacam itu, seperti pergi ke sawah, ke huma,
ke hutan, pasang perangkap hewan, kenduri, haji, salat, pohon tertentu,
mandi di kali, dan lain-lain. Akan tetapi dalam alam pikiran dan sikap
spiritual benar-benar untuk semua manusia, hanya kadang terselip
kosmologi Sunda lama. Sebagai cerita rakyat, Si Kabayan memang
menggambarkan manusia di tanah Sunda. Tema dan pesan tetap universal.
Sebagai
cerita rakyat Sunda Si Kabayan sejajar dengan Abu Nawas dan Koja
Nasrudin. Orang sering menyejajarkan Si Kabayan dengan tokoh
pintar-bodoh di suku-suku lain. Akan tetapi tokoh-tokoh cerita rakyat
suku-suku lain itu tidak sekaya Si Kabayan. Cerita-cerita mereka kadang
hanya diwakili satu cerita.
Cerita
Si Pandir di Melayu, misalnya, meliputi beberapa cerita saja. Begitu
pula Si Luncai dan Pak Senik, hanya ada satu dua ceritanya. Sedangkan Si
Kabayan, kalau dikumpulkan bisa mencapai seratus cerita lebih.
Coster-Wijaman bisa mengumpulkan 80 cerita di daerah Banten saja.
Sebagai
cerita rakyat milik masyarakat Sunda, Si Kabayan memang istimewa,
setara dengan pantun-pantun Sunda. Cerita-cerita itu amat dalam kalau
ditafsirkan secara budaya. Cerita-cerita itu sama sekali bukan
dongeng-dongeng seperti diperkirakan orang, namun tidak semua
berkualitas demikian, sebab banyak para peniru Si Kabayan yang hanya
melihat permukaan ceritanya.
Cerita-cerita
yang demikian itu tidak serta merta membangkitkan adanya
struktur-struktur berpikir simbolik. Sehingga banyak juga cerita-cerita
Si Kabayan baru yang hanya tertarik pada segi humornya, namun tidak
dilandasi oleh cara berpikir budayanya.
Mengapa istimewa?
Si
Kabayan itu tokoh paradoks yang membangun cerita-cerita paradoks pula.
Tokoh demikian itu jelas muncul dari pemikiran mendalam seorang (atau
beberapa orang) intelektual. Bobot sastrawinya amat tinggi. Meskipun
diceritakan secara lisan sehingga banyak ditambah dan dikurangi sesuai
dengan perubahan masyarakatnya, inti pesannya masih amat jelas. Bahkan
kita dapat merekonstruksi bentuk aslinya.
Permata
itu tetap permata, meskipun berada di mulut kerbau. Dengan mudah kita
dapat memilih mana Si Kabayan yang autentik dan mana Si Kabayan
artifisial. Untuk menulis cerita Si Kabayan yang baru diperlukan dasar
pengetahuan filsafat, bukan sekadar menulis cerita.
Cerita Si Kabayan itu memiliki dasar pandangan mistisisme dan laku mistis itu memang penuh paradoks. ***
JAKOB SUMARDJO
Budayawan Sunda.
Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=6884
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
CATATAN:
> USAHAKAN KOMENTAR TIDAK MENYINGGUNG
> TIDAK MENGANDUNG KATA KASAR
> BOLEH BERUPA KRITIK ATAU SARAN
> TIDAK BERBAU PORNO
> DIHARAPKAN TIDAK MENULIS LINK HIDUP / AKTIF